Skip to main content

Prologue

Terhitung 29 Agustus, dimana aku memutuskan untuk berhenti.

Maaf aku lelah berdiri lama...

Aku benci menunggu, tapi "pertemuan" mengharuskan ku untuk menunggu.
Aku benci mengakhiri, tapi "keraguan" mengharuskan ku untuk mengakhiri.


Jauh dari "Benci dan keharusan", aku sangat menikmati "kerinduan" sebelum cemburu termuntahkan. Maaf jika saat itu aku terlalu cemburu untuk tidak berada disamping mu, maaf jika saat itu aku telalu lemah mendengar keraguan terlontar dari mulut mu, sempat aku memutuskan untuk tidak bersikap, tapi malah menyiksa diri. Sengaja aku lepas agar kita tau dimana sakit itu bersembunyi, lalu obati lukanya masing - masing. 

---

Comments

Popular posts from this blog

(ano.ma.li)

Aku lihat mereka... Saat aku duduk mereka mendapingi. Saat aku sendiri mereka menemani. Tanpa diminta mereka selalu mengkuti. Bukannya aku mengigau atau tak waras... Karena aku lihat, kalian tidak.  Setiap hari setiap membuka mata aku selalu bertanya 'sampai kapan?' hanya itu. Diantara pilar dan selasar tidak hanya kalian yang aku lihat, tapi juga mereka... ya mereka yang setiap malam melempar sesuatu hingga bising, mereka yang selalu menyembunyikan barang kalian, mereka yang selalu mengitip dari balik jendela di tangga yang gelap itu, mereka yang selalu menyerupai kalian kapan saja. itu mereka... Jika kalian tau, aku lelah.

Gadis di Selasar (Magenta).

Sunyi teman setianya... Berjalan sendiri tanpa langkah kaki lainnya, menunggu semua pergi lalu memulai. Untuk dia yang suka sendiri, selalu duduk menunggu senja di pojok selasar... tak perduli dengan setiap orang yang melintas lalu terdiam sebentar hanya untuk memandangnya saja. Tebiasa dengan sikap orang padanya seperti itu, dia tak acuh lagi. Untuk dia yang benci keramaian, selalu berlari sendiri memejamkan mata dan menutup telinga meninggalkan semua yang berwarna. Hanya hitam dan putih yang ia tau... hanya amarah dan pilu yang ia tau... Untuk dia yang tak bisa melupakan, Masih terbayang pria yang selalu memberi rasa indahnya hidup penuh dengan kehangatan. Bersama yang dijanjikan lalu ia ingkari dan ditinggalkan. Magenta masih saja duduk di pojok selasar dengan tangan penuh membawa agendanya yang tak pernah lepas dari genggamannya. Matanya selalu menatap langit menunggu senja... bibirnya masih menekuk seakan mengkhayati turunnya mentari... jika mendung ia selalu memperlihatkan...