Skip to main content

Sebuah Ungkapan

Entah  dari  kapan  awalnya,  rasanya  baru  kemarin  aku  menyadarinya.

Jelas  ini  bukan  keinginanku,  tapi  ku  akui  ini  jelas  kesalahanku.


Sekarang...  adalah  batas  ku,  semua  rasa  kini  beradu  seperti  ingin  keluar, 

hanya  saja  ketakutanku  masih  merdeka  tak  peduli  aku  gila  dihantuinya.


Kamu...  kenapa  harus  kamu?  seseorang  yang  ku  istimewakan,

lalu  diam - diam  aku  mulai  berimajinasi  tentang  kamu.  Ya aku  rasa  aku  suka...

bukan  hanya  dengan  kamu,  semua  ulah,  dan  untaian  kata  yang  terlontar  dari

mulut  yang  tak  mau  diam  itu.

Comments

Popular posts from this blog

(ano.ma.li)

Aku lihat mereka... Saat aku duduk mereka mendapingi. Saat aku sendiri mereka menemani. Tanpa diminta mereka selalu mengkuti. Bukannya aku mengigau atau tak waras... Karena aku lihat, kalian tidak.  Setiap hari setiap membuka mata aku selalu bertanya 'sampai kapan?' hanya itu. Diantara pilar dan selasar tidak hanya kalian yang aku lihat, tapi juga mereka... ya mereka yang setiap malam melempar sesuatu hingga bising, mereka yang selalu menyembunyikan barang kalian, mereka yang selalu mengitip dari balik jendela di tangga yang gelap itu, mereka yang selalu menyerupai kalian kapan saja. itu mereka... Jika kalian tau, aku lelah.

Gadis di Selasar (Magenta).

Sunyi teman setianya... Berjalan sendiri tanpa langkah kaki lainnya, menunggu semua pergi lalu memulai. Untuk dia yang suka sendiri, selalu duduk menunggu senja di pojok selasar... tak perduli dengan setiap orang yang melintas lalu terdiam sebentar hanya untuk memandangnya saja. Tebiasa dengan sikap orang padanya seperti itu, dia tak acuh lagi. Untuk dia yang benci keramaian, selalu berlari sendiri memejamkan mata dan menutup telinga meninggalkan semua yang berwarna. Hanya hitam dan putih yang ia tau... hanya amarah dan pilu yang ia tau... Untuk dia yang tak bisa melupakan, Masih terbayang pria yang selalu memberi rasa indahnya hidup penuh dengan kehangatan. Bersama yang dijanjikan lalu ia ingkari dan ditinggalkan. Magenta masih saja duduk di pojok selasar dengan tangan penuh membawa agendanya yang tak pernah lepas dari genggamannya. Matanya selalu menatap langit menunggu senja... bibirnya masih menekuk seakan mengkhayati turunnya mentari... jika mendung ia selalu memperlihatkan...